PENGUASAAN TANAH GARAPAN

Kabarindonesianews-Kita sering mendengar, adanya penyebutan bidang tanah tertentu di suatu tempat dengan istilah tanah garapan. Keberadaan tanah tersebut,  umumnya berlokasi di suatu tempat terpisah – di pinggiran kota atau daerah terpencil – jauh dari pemukiman penduduk. Kondisi tanahnya mungkin dalam bentuk tanah kosong atau rawa yang terlantar. Awalnya, penduduk yang bermukim berdekatan dengan lahan tersebut menggarap dan mengolahnya untuk bercocok tanam untuk jenis tanaman berumur singkat yang bersifat musiman  seperti: sayur-mayur, singkong, padi, dsb. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, setelah semakin lama ternyata tidak muncul pihak ketiga yang melarang, maka orang-orang lain juga memiliki niat sama untuk mengolah lahan tersebut. Akhirnya lahan tersebut bukan lagi digunakan hanya sebatas bercocok tanam, melainkan sudah dijadikan wilayah pemukiman penduduk. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana status hukum atas penguasaan lahan tersebut? Tulisan ini berisikan  tinjauan hukum  terhadap  beberapa aspek  hukum terkait penguasaan bidang tanah yang bersumber dari tanah garapan berdasarkan  peraturan yang berlaku.

Hak Negara Menguasai Tanah

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), menyebutkan bahwa atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi “dikuasai” oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Penguasaan atas bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara dikenal dengan sebutan “Hak Menguasai Negara”. Pasal 2 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa hak menguasai negara diberi wewenang untuk: 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Tujuan hak menguasai air, bumi dan ruang angkasa adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Selanjutnya, dasar hukum ketentuan yang mengatur pemberian hak-hak atas tanah kepada orang-orang atau badan hukum diatur dalam Pasal 4 ayat  (1) UUPA, yaitu: “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut “tanah” yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain-orang lain serta badan-badan hukum.”

Kepemilikan Hak Atas Tanah

Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh:  perseorangan, baik warga Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia; sekelompok orang secara bersama-sama; badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; badan hukum privat; dan badan hukum publik.

Konstitusi melindungi kepemilikan suatu benda termasuk kepemilikan hak atas tanah yang diperoleh secara sah berdasarkan prosedur yang berlaku. Kepemilikan sesuatu benda yang berguna bagi kehidupan seseorang juga di jaminan oleh undang-undang karena hal tersebut menyangkut hak asasi manusia. Pasal 28H (4)-UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Selanjutnya, Pasal 36 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

Menurut Hukum Perdata Indonesia (Pasal 570 KUHPerdata), Hak Milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu benda dengan leluasa, dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran ganti rugi yang layak menurut ketentuan undang-undang.

Setiap kepemilikan dan penguasaan sebuah benda, idealnya menurut hukum harus ada alas haknya. Artinya, apabila seseorang diakui sebagai pemilik atau berwenang untuk menguasai sebuah benda harus dapat ditunjukkan dasar hukum kepemilikan atau penguasaan atas benda tersebut. Mengacu kepada Pasal 584 KUHPerdata bahwa hak milik atas sesuatu barang tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, karena wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Aspek Hukum Penguasaan Tanah Garapan.

Istilah tanah garapan tidak dikenal dalam UUPA, sedangkan peraturan perundang-undangan tidak menentukan khusus mengenai perolehan suatu tanah garapan. Dalam memperoleh tanah garapan harus dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang. Hingga saat ini, belum terdapat peraturan perundang-undangan sebagai panduan khusus tentang standar tertentu yang baku dalam memperoleh suatu tanah garapan.

Tanah berstatus garapan diartikan sebagai tanah kosong yang dimanfaatkan oleh orang lain, meski belum disahkan hak kepemilikannya secara hukum. Kekuatan hukum tanah garapan tergantung pada pengakuan atas hak tanah tersebut oleh pihak tertentu. Tanah garapan yang bisa dijadikan hak milik oleh penggarapnya hanyalah tanah kosong yang belum dilekati suatu hak seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai.

Hak garap bukanlah hak atas tanah. Hak garap hanyalah sebatas hak untuk menikmati, mengerjakannya untuk mengambil manfaat dan mempergunakannya untuk dijadikan sebagai tanah garapan yang belum mendapat perlindungan hukum secara pasti atas status kepemilikannya. 

Untuk objek tanah garapan, akta atau perjanjian yang dibuat untuk suatu peralihan hak garapnya adalah akta pengoperan hak garap atas tanah. Kemudian, apabila ada bangunan yang berdiri di atas tanah  tersebut yang turut dialihkan, maka akta yang dibuat adalah akta jual beli bangunan dan pengoperan hak garap. 

Bukti peralihan atas hak garap adalah akta atau perjanjian tersebut, bukan kwitansinya. Kuitansi diberikan karena pembayaran ganti rugi atas pengoperan hak garap tanah. Dengan adanya akta atau perjanjian pengoperan hak garap, maka peralihan hak penguasaan atas tanah garapan menjadi sah menurut hukum. Tanah garapan yang dialihkan hak garapnya, penggarap awal akan menerima ganti rugi.

Tanah garapan yang belum dilekati dengan sesuatu hak atau sertifikat sebagai tanda bukti hak, umumnya tanah garapan tersebut berupa bidang tanah yang langsung dikuasai oleh negara.  Dalam hal tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pihak penggarap dapat mendaftarkannya menjadi hak milik dengan syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh  Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Tanah garapan yang sudah dilekati dengan sesuatu hak, jika hak tersebut adalah hak milik tentunya tidak bisa didaftarkan menjadi hak milik oleh penggarap, karena sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) UUPA hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh. Kecuali, hak milik tanah tersebut sudah jatuh kepada negara sesuai dengan Pasal 27 huruf a UUPA. (Jan Waliston Nababan, S.H.)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*